iklan jual beli mobil

Siap-siap Galau, Masa Depan Mobil Listrik Indonesia Ternyata Masih di Awang-awang

  • Pembalap nasional, Rifat Sungkar, membagikan pandangannya terhadap hal-hal yang kurang tepat dalam proses transformasi kendaraan BBM menuju kendaraan listrik di Indonesia. Sangat menarik untuk disimak, terutama bagi Anda yang sedang galau mau beli kendaraan listrik.

Otojatim.com - Pemerintah sangat serius mengembangkan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia. Sosialisasi gencar dilakukan di berbagai lapisan masyarakat. Tak ketinggalan stimulus-stimulus dilancarkan demi mempercepat terwujudnya misi ini. Sebut saja subsidi pembelian kendaraan listrik, penghapusan pajak, bebas ganjil genap, subsidi konversi motor BBM ke listrik, dan sebagainya.


Meski begitu, hal-hal tersebut belum mampu membuat masyarakat yakin untuk beralih dari BBM ke listrik. Ada sejumlah keraguan yang belum bisa dijamin oleh pemerintah.


Keresahan tersebut diutarakan oleh Rifat Sungkar, pembalap nasional dalam sebuah podcast. Ia bahkan merasa kendaraan listrik bukanlah solusi tepat untuk masyarakat Indonesia pada saat ini.


"Gua tidak anti kendaraan listrik, tapi Gua sejujurnya tidak setuju kalau mobil listrik itu jadi pengganti mobil bensin," ungkapnya pada channel Youtube Kasisolusi yang diunggah Rabu (17/4). 


Menurut Rifat, di tahun 2024 ini kendaraan listrik bersifat optional bukan keharusan. Masyarakat boleh memilih apakah mau menggunakan kendaraan bensin, solar, atau listrik.  


"Tapi sudah ada untungnya kah orang pakai mobil listrik? Di luar negeri yang pakai mobil listrik adalah negara yang kelebihan energi. Di Norwegia, ketika mobil listrik diperkenalkan, orang-orang tertarik bukan karena mau melindungi alamnya, tapi karena banyak insentifnya. Seperti harganya lebih murah, ganjil genap boleh lewat, parkir di tengah kota boleh. Tapi, itu kan negara yang sudah established, dimana ketika mobil listriknya ada, mau kemana pun sudah bisa charging," paparnya.


Hal ini berbeda dengan Indonesia yang charging station-nya masih terbatas. Idealnya jumlah charging station sesuai dengan banyaknya target penjualan kendaraan listrik di Tanah Air.


Tak hanya itu, Rifat juga menyinggung soal nilai penyusutan kendaraan listrik.


"Misal mobil bensin penyusutannya 10 persen per tahun. Di tahun ke-5 mungkin 30 persen. Nah, sedangkan mobil listrik, setelah 7 tahun lu harus ganti baterainya, berapa nilai mobilnya? Nol. Beli baterainya bisa seharga 300-400 juta," ujar Rifat.


Dengan kata lain, pasar secondhand mobil listrik masih di awang-awang, belum jelas bagaimana nasibnya. 


"Apakah mobil listrik setelah ganti baterai fungsinya masih optimal seperti saat belum ganti baterai? Kita juga belum tahu," timpalnya.


Rifat mengatakan, perpindahan dari kendaraan bensin ke kendaraan listrik akan berdampak pada bengkel-bengkel tradisional.


"Di bengkel-bengkel (tradisional), stok spare part mobil biasa antara 2.000-5.000 pcs. Sedangkan spare part mobil listrik hanya 700-1.000 pcs. Kita akan kehilangan industri besar itu. Mereka mau jualan oli gak ada yang pakai, jualan piston busi ga ada yang pakai. Lalu dialihkan ke mana?"

Meski begitu, kendaraan listrik diakui Rifat sebagai peluang besar bagi industri otomotif kreatif Indonesia untuk bisa bangkit dan berkembang. Mengingat inti dari kendaraan listrik adalah dinamo dan baterainya, maka Indonesia memiliki sumber daya yang sangat cukup. Optimisme inilah yang membuat pemerintah gencar mempercepat elektrifikasi.


"Indonesia itu jago bikin dinamo, baterai. Jadi kita punya peluang untuk membuat kendaraan Indonesia sendiri," katanya.


Meski begitu, Rifat berharap pemerintah bisa lebih bijak dalam mengatur proses peralihan dari kendaraan bensin ke listrik. Ia meyakini, selalu ada jalan tengah dari setiap penerapan teknologi baru.


Salah satunya Plug in Hybrid Electric Vehicle (PHEV) yang dinilai Rifat sebagai solusi paling pas untuk Indonesia saat ini, namun justru tidak populer di Indonesia.


"PHEV ini ada bensinya, ada mesinnya, ada baterainya, tapi mobilnya gak pernah jalan pakai bensin, selalu pakai baterai, ibarat bawa genset dalam mobil. Jadi baterainya selalu terisi tenaganya dari bensin, jadi efisiensinya jauh lebih dapet. Pengguna juga gak usah bingung kalau baterainya habis ngisi di mana, tinggal isi bensin aja," ungkap peraih podium di Asia Pasific Rally Championship tersebut.


"Porsche lagi ngembangin mobil bensin tanpa emisi, yang dia kembangkan bensinnya bukan mobilnya. Kalau sudah begini, mobil listrik gimana? Itulah kenapa teknologi itu harus dimaintain, dicari jalan tengahnya, bukan asal pindah," tutupnya.

LihatTutupKomentar
close
harga yamaha lexi