iklan jual beli mobil

Lapisan Pajak Kendaraan Bikin Harga Mobil Indonesia Terasa Tak Masuk Akal

OTOJATIM - Harga mobil di Indonesia sering bikin dahi berkerut. Bukan karena teknologinya melonjak jauh, bukan pula karena fitur tiba-tiba mewah. Masalah utamanya ada di satu titik yang jarang dibedah tuntas: pajak. Angkanya bukan receh. Bahkan, hampir separuh harga mobil baru yang dibayar konsumen menguap ke kas negara.

Tingginya pajak kendaraan membuat harga mobil di Indonesia melonjak, meski diproduksi lokal dan massal.
Beban pajak kendaraan di Indonesia disebut mencapai hampir 40 persen dari harga mobil baru.
Fakta ini diungkap langsung Wakil Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Bob Azam. Menurutnya, kesan mahal pada mobil di Indonesia muncul karena beban pajak yang terlalu tinggi dibanding negara lain. Pajak kendaraan di Tanah Air bisa menembus 40 persen dari harga mobil.

"Jadi di industri otomotif Indonesia nih kesannya kan harga kendaraan ini mahal banget. Padahal di dalamnya pajaknya itu 40 persen. Nah, bandingkan dengan negara lain yang pajaknya mungkin tidak setinggi kita ya. Kalau di Thailand itu di bawah 30 persen ya, begitu juga di Malaysia," kata Bob dikutip CNBC Indonesia.

Angka itu menjelaskan banyak hal. Konsumen membeli mobil, tapi hampir separuh uangnya bukan untuk pabrikan. Bukan pula untuk dealer. Melainkan untuk berbagai lapisan pajak yang bertumpuk dari pusat hingga daerah.

Dari pemerintah pusat saja, ada Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Mulai 2025, PPN kendaraan bermotor roda empat naik menjadi 12 persen dari sebelumnya 11 persen. Itu belum termasuk PPnBM alias Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Mobil masuk kategori barang mewah. Tarif PPnBM bervariasi, mulai 3 persen sampai 70 persen, tergantung emisi gas buang.

Mobil listrik mendapat tarif 0 persen, tapi segmennya belum dominan di pasar.
Biaya lain ikut mengintai saat mobil baru keluar dealer. Ada penerbitan BPKB, STNK, pelat nomor, serta SWDKLLJ. Seluruhnya masuk kategori penerimaan negara bukan pajak. Jika ditotal, angkanya sekitar Rp 818 ribu. Nominalnya terlihat kecil, tapi tetap menambah beban di awal pembelian.

Di level provinsi, cerita belum selesai. Konsumen masih harus membayar Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB). Tarif maksimalnya 12 persen. Untuk wilayah tertentu yang setingkat provinsi tanpa kabupaten atau kota, tarifnya bahkan bisa mencapai 20 persen.

Setelah mobil resmi menjadi milik, pajak tahunan menanti. Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) ditarik setiap tahun. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022, tarif PKB kepemilikan pertama maksimal 1,2 persen. Kepemilikan kedua dan seterusnya berlaku progresif hingga 6 persen. Khusus wilayah seperti Jakarta, tarif kepemilikan pertama bisa mencapai 2 persen dan progresif hingga 10 persen.

Belakangan, beban bertambah lagi dengan adanya opsen PKB dan opsen BBNKB. Artinya, pajak kendaraan tak hanya tinggi di depan, tapi juga panjang umurnya.

Bob Azam menilai kondisi ini menciptakan jarak besar antara potensi pasar dan realisasi penjualan. Ia membandingkan Indonesia dengan Malaysia. Penduduk Malaysia hanya sekitar sepertujuh Indonesia, tetapi pendapatan per kapitanya tiga kali lipat.

"Kalau kita bandingkan dengan Malaysia yang penduduknya sepertujuh dari Indonesia tapi income per capitanya tiga kali lipat dari kita, mestinya market kita ini dua kali Malaysia. Jadi kalau Malaysia 750 ribu atau 780 ribu, di Indonesia mestinya sudah di atas 1,5 juta. Jadi ada distorsi 50 persen, mungkin diakibatkan oleh daya beli yang tidak terlalu kuat dan pajak yang terlalu tinggi ya," ujar Bob.

Ia menambahkan, negara lain juga rajin menggulirkan stimulus otomotif. Pajak memang tetap ada, tapi dikompensasi lewat insentif yang konsisten. Kondisi ini berbeda dengan Indonesia yang stimulusnya jarang muncul.

"Kemudian yang kedua, mereka rajin memberikan stimulus. Jadi even pajaknya ada, tapi stimulusnya tuh rajin. Kalau kita stimulusnya nih kurang sering. Nah ini yang kita harapkan ke depan menjadi pertimbangan dari pemerintah ya," sambungnya.

Selama struktur pajak kendaraan masih setebal ini, harga mobil di Indonesia akan terus terasa mahal, apa pun mereknya dan seberapa lokal produksinya. Konsumen bukan sedang membayar teknologi atau kualitas semata, melainkan menanggung tumpukan pungutan sejak mobil belum menyentuh jalan.

Tanpa perubahan kebijakan yang lebih ramah pasar, mimpi pasar otomotif nasional tumbuh besar hanya akan berhenti di angka proyeksi, sementara konsumen tetap terpental oleh harga yang sejak awal sudah melambung.

Sumber: Detik

LihatTutupKomentar

Race 2 Win, Acara Otomotif Tanpa Batas

Komunitas LM400 berpose bersama Koenigsegg CCX di sirkuit Sentul (6/5). Berto/Otojatim Sentul, Otojatim.com - Sabtu (6/5) itu nampak r...

close
harga yamaha nmax turbo